Sabtu, 03 Oktober 2009

Akar Kesesatan Teroris {2}

Dan penulis berkata,

“Pada saat mana juga ulama-ulama kian asyik tenggelam dalam tumpukan kitab-kitab dan gema pengeras suara. Mereka tidak lagi peduli dengan penodaan, penistaan, dan penjajahan terhadap kiblat dan tanah suci mereka. Dengan takdir Allah, lahirlah segelintir mujahid yang benar-benar sadar dan mengerti apa yang harus mereka perbuat.” [7]

Tanggapan

Dan pernyataan di atas termasuk dari kamus kedustaan yang dituduhkan kepada para ulama Ahlus Sunnah, dan menunjukkan rendahnya para ulama di mata orang yang mengucapkan kalimat tersebut.

Dan pensifatannya terhadap para ulama bahwa “Mereka tidak lagi peduli dengan penodaan, penistaan, dan penjajahan terhadap kiblat dan tanah suci mereka” dan juga ucapannya yang telah lalu, “Dewan Fatwa Saudi yang ketika itu diketuai oleh Syaikh Bin Baz rahimahullâh, segera mengeluarkan fatwa justifikasi tentang bolehnya menggunakan Drakula Amerika dan monster sekutunya sebagai penjaga keamanan Baitullah dan sekitarnya” akan datang tanggapan terhadapnya pada tempatnya.

Setelah melecehkan para ulama, maka penulis menyatakan maksud sebenarnya dari pelecehan itu, yaitu untuk mengangkat dan membanggakan diri-diri mereka dengan suatu angan-angan yang tidak dibenarkan oleh syari’at dan akal sehat. Perhatikan ucapannya, “Dengan takdir Allah, lahirlah segelintir mujahid yang benar-benar sadar dan mengerti apa yang harus mereka perbuat.”

Dan perhatikan juga ucapannya, “Dari sini, tibalah saatnya aku dan segelintir kaum muslimin terpanggil untuk berjihad melawan bangsa teroris. Bangsa yang memimpin bangsa-bangsa kafir lainnya untuk menodai dua tanah suci. Bangsa yang telah memulai peperangan terhadap kaum muslimin.” [8]

Dan simak pula penjelesannya, “Maka bom Bali adalah salah satu bentuk jawaban yang dilakukan oleh segelintir kaum muslimin yang sadar dan mengerti akan arti sebuah pembelaan dan harga diri kaum muslimin. Bom Bali adalah satu di antara perlawanan yang ditujukan terhadap penjajah Amerika dan sekutunya. Bom Bali adalah salah satu jihad yang harus dilakukan, sekalipun oleh segelintir kaum muslimin.” [9]

[1] Aku Melawan Teroris hal. 110-111.

[2] Akan kami terangkan tentang hayalannya ini pada pembahasan Ketika Gajah Menjadi Kipas yang akan datang.

[3] Aku Melawan Teroris hal. 186.

[4] Bisa dibaca dalam buku Raf’ul Litsâm ‘An Mukhâlafah Al-Qaradhâwy ‘An Syarî’ah Al-Islâm Karya Ahmad bin Muhammad bin Manshûr Al-‘Udainy. Telah dicetak dalam bahasa Indonesia dengan judul “Membngkar Kedok Al-Qaradhawi”.

[5] Aku Melawan Teroris hal. 92.

[6] Dari ucapan Ibnu ‘Asâkir dalam Tabyîn Kadzib Al-Mufrarî 1/29 dan Ibnu Nâshiruddin Ad-Damsyqy sebagaimana dalam Ar-Radd Al-Wâfir hal. 284.

[7] Aku Melawan Teroris hal. 93.

[8] Aku Melawan Teroris hal. 100.

[9] Aku Melawan Teroris hal. 114-115.

(http://jihadbukankenistaan.com/bantahan-buku-aku-melawan-teroris/akar-kesesatan-2.html)

Bagian Ketiga

Akar Kesesatan Ketiga : KERANCUAN DALAM POKOK MANHAJ

Sebenarnya dalam dua dasar pemikiran Imam Samudra di atas, demikian pula yang akan datang, ada bentuk kerancuan dalam hal Manhaj. Namun disini ada beberapa kerancuan Manhaj yang selayaknya dikhususkan pembahasan terhadapnya. Yaitu kerancuan penulis berkaitan dengan makna Salafiyah.

Termasuk hal yang dibanggakan oleh Imam Samudra adalah pengakuannya bahwa dirinya berada di atas jalan Salaf-Shalih dan seluruh aksi Bom Bali yang dia lakukan bersama teman-temannya sangat dia yakini selaras dengan metode Salaf-Shalih.

Dan boleh saja seseorang mengaku berada di atas jalan Salaf, namun pengakuan tersebut tidaklah diterima kecuali jika telah terbukti bahwa dia telah mencocoki hakikat manhaj Salaf yang penuh dengan kejelasan dan perbuatannya tidak menyelisihi pengakuannya. Dan sangat disayangkan, kenyataan menuturkan bahwa Imam Samudra tidak memiliki seluruh hal tersebut.

Sebenarnya dari beberapa penyimpangan yang telah dijelaskan adalah lebih dari cukup menunjukkan jauhnya Imam Samudra dari jalan Salaf. Akan tetapi disini ada beberapa hal lain yang ingin kami uraikan berkaitan dengan kerancuannya memahami hakikat makna Salafiyah.

Perlu diketahui bahwa Salafiyah adalah pensifatan yang diambil dari kata (Salaf).

Dan Salaf itu sendiri dalam bahasa Arab adalah berarti yang terdahulu, yang awal dan yang pertama. Mereka dinamakan Salaf karena mereka adalah generasi pertama dari umat Islam.

Berkata Ibnu Manzhur dalam Lisanul ‘Arab, “Dan As-Salaf juga adalah orang-orang yang mendahului kamu dari ayah-ayahmu dan kerabatmu, yang mereka itu di atas kamu dari sisi umur dan keutamaan, karena itulah generasi pertama di kalangan tabi’in dinamakan As-Salaf Ash-Shalih.”

Adapun secara istilah, Al-‘Allamah Muhammad As-Saffarini Al-Hambaly rahimahullah menjelaskan, “Yang diinginkan dengan madzhab salaf yaitu apa-apa yang para sahabat yang mulia -mudah-mudahan Allah meridhoi mereka- berada di atasnya, para tabi’in yang mengikuti mereka dengan baik dan yang mengikuti mereka dari para Imam agama yang dipersaksikan keimaman mereka dan dikenal perannya yang sangat besar dalam agama dan manusia menerima perkataan-perkataan mereka…”. [1]

Dan berkata guru kami, Syaikh Sholih Al-Fauzan hafizhohullah, “Dan kata Salafiyyah digunakan terhadap Jama’ah kaum mukminin yang mereka hidup di generasi pertama dari generasi-generasi Islam yang mereka itu komitmen di atas Kitabullah dan Sunnah Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam dari kalangan shahabat Muhajirin dan Anshar dan yang mengikuti mereka dengan baik. Dan Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam mensifati mereka dengan sabdanya, “Sebaik-baik kalian adalah zamanku kemudian zaman setelahnya kemudian zaman setelahnya….” [2]

Asal penamaan Salaf dan penisbahan diri kepada manhaj Salaf adalah sabda Nabi shollahu ‘alhhi wa alihi wasallam,

فَإِنَّهُ نِعْمَ السَّلَفُ أَنَا لَكِ

“Karena sesungguhnya sebaik-baik salaf bagi kamu adalah saya.” [3]

Maka jelaslah bahwa penamaan Salaf dan penisbahan diri kepada manhaj Salaf adalah perkara yang mempunyai landasan (pondasi) yang sangat kuat dan sesuatu yang telah lama dikenal, tapi karena jauhnya kita dari tuntunan syari’at yang dibawah oleh Rasulullah shollahu ‘alhhi wa alihi wasallam, maka muncullah anggapan bahwa manhaj salaf itu adalah suatu aliran baru, dan seterusnya dari anggapan-anggapan yang salah.

Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah, “Tidak ada celaan terhadap orang yang menampakkan madzhab Salaf dan menisbahkan diri kepadanya serta mengacuh kepadanya, bahkan wajib menerima hal tersebut menurut kesepakatan (para ulama). Karena sesungguhnya madzhab Salaf itu tiada lain kecuali hanya kebenaran.” [4]

Dan orang yang mengikuti jejak para ulama Salaf (Manhaj Salaf) mereka inilah yang dikenal juga dengan nama Ahlus Sunnah wal Jama’ah, Al-Firqatun Najiyah, Ath-Tha`ifatul Manshurah, dan Ahlul Hadits.

Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah, “Siapa yang berpendapat dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah serta Ijma’, maka ia termasuk Ahlus Sunnah Wal Jama’ah.” [5]

Dan beliau juga menjelaskan, “Maka apabila sifat Al-Firqatun Najiyah adalah mengikuti para sahabat di masa Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam, sedang itu adalah syi’ar (ciri, simbol) Ahlus Sunnah, maka Al-Firqatun Najiyah mereka adalah Ahlus Sunnah.” [6]

Nama-nama di atas adalah ciri dan sifat mereka yang membedakan mereka dengan seluruh kelompok yang menyimpang dari jalan yang lurus. Mungkin ada baiknya kami isyaratkan tujuh keistimewaan dari penamaan-penamaan di atas,

Satu : Penamaan-penamaan tersebut adalah nisbah kepada generasi awal umat Islam yang berada di atas tuntunan Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam, bukanlah suatu organisasi atau jaringan tertentu.

Dua : Kandungan makna dalam penamaan-penamaan tersebut hanyalah menunjukkan tuntunan Islam yang murni yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam tanpa ada penambahan sedikit pun atau pengurangan.

Tiga : Penamaan-penamaan ini mempunyai asal dalil dari sunnah Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam.

Empat : Penamaan-penamaan ini hanyalah muncul untuk membedakan antara pengikut kebenaran dari jalan para pengekor hawa nafsu dan golongan-golongan sesat, dan sebagai bantahan terhadap bid’ah dan kesesatan mereka serta menepis kebingungan yang melanda umat.

Lima : Ikatan wala` (loyalitas) dan baro` (kebencian, permusuhan) bagi orang-orang yang bernama dengan penamaan ini, hanyalah ikatan wala` dan baro` di atas Islam (Al-Qur’an dan As-Sunnah) bukan ikatan wala` dan baro` karena seorang tokoh, pemimpin, kelompok dan lain-lainnya.

Enam : Tidak ada fanatisme bagi orang-orang yang memakai penamaan-penamaan tersebut selain kepada Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam karena pemimpin dan panutan mereka hanyalah satu, yaitu Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam. Berbeda dengan orang-orang yang menisbahkan dirinya ke penamaan-penamaan bid’ah, fanatisme mereka untuk golongan, kelompok, atau pemimpin.

Tujuh : Penamaan-penamaan ini sama sekali tidak akan menjerumuskan ke dalam suatu bid’ah, maksiat maupun hal yang tercela menurut pandangan syari’at. [7]

Kemudian setelah mengetahui beberapa perkara di atas, harus dipahami bahwa mengikuti jalan para ulama Salaf bukanlah suatu alternatif belaka, bahkan ia adalah suatu kewajiban yang telah ditekankan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah serta kesepakatan para ulama.

Allah Subhanahu wa Ta’ala hanya memberikan pahala dan keberuntungan bagi siapa yang mengikuti jejak para ulama Salaf,

“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari orang-orang Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar.” (QS. At-Taubah : 100)

Dan lambang keimanan dan petunjuk adalah dengan mengikuti jalan mereka, Allah ‘Azza wa Jalla menegaskan,


“Maka jika mereka beriman seperti apa yang kalian telah beriman kepadanya, sungguh mereka telah mendapat petunjuk; dan jika mereka berpaling, sesungguhnya mereka berada dalam permusuhan (dengan kamu). Maka Allah akan memelihara kalian dari mereka. Dan Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”. (QS. Al-Baqorah : 137)

Bahkan Allah Jalla Jalaluhu telah menyatakan ancaman dan siksaan yang pedih terhadap mereka yang berpaling dari jalan Salaf,

“Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin (para shahabat), Kami biarkan ia larut dalam kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (QS. An-Nisa` : 115).

Dan Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda,

خَيْرُ النَاسِ قَرْنِي ثُمَّ الذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ ثُمَّ الذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ

“Sebaik-baik manusia adalah generasiku kemudian generasi setelahnya kemudian generasi setelahnya”. [8]

Dan dalam hadits perpecahan umat, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam menyatakan,

افْتَرَقَتِ الْيَهُوْدُ عَلَى إِحْدَى وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً وَافْتَرَقَتِ النَّصَارَى عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً وَإِنَّ أُمَّتِيْ سَتَفْتَرِقُ عَلَى ثَلاَثِ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً كُلُّهَا فِي النَّارِ إِلاَّ وَاحِدَةً وَهِيَ الْجَمَاعَةُ

“Telah terpecah orang–orang Yahudi menjadi tujuh puluh satu firqah (golongan) dan telah terpecah orang-orang Nashara menjadi tujuh puluh dua firqah dan sesungguhnya umatku akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga firqah semuanya dalam neraka kecuali satu, dan ia adalah Al-Jama’ah.” [9]

Berkata Ibnu Qudamah rahimahullah, “Telah tetap kewajiban mengikuti para ulama Salaf rahmatullahi ‘alaihim berdasarkan Al-Kitab, As-Sunnah dan Ijma’….” [10]

Setelah menelaah sekilas gambaran tentang hakikat Salafiyah atau Manhaj Salaf, berikut ini beberapa catatan terhadap Imam Samudra yang menunjukkan kerancuannya dalam memahami jalan Salaf-Shalih.

Kerancuan Pertama

Penulis berkata ketika menyebutkan beberapa perbedaan pendapat berkaitan dengan bom syahid, “Sebagian mufti Saudi Arabia yang dapat dipastikan sebagai qa’idun (tidak berjihad) ada yang menganggap haram, diikuti segelintir salafy irja’i di Indonesia yang juga menganggap haram….” [11] Kemudian setelah menderet seluruh pendapat yang dikantonginya, penulis berkata, “Tidak dapat diingkari, dalam kondisi seperti ini, umat Islam banyak dibingungkan oleh berbagai macam fatwa. Terlebih ketika fatwa atau komentar tentang bom syahid ini dinisbahkan atau dilebeli dengan cap salafi (baca: salafi irja’i, murji’ah), yang dipropagandakan secara gencar karena berbagai dukungan finansial dari Saudi Arabia dan negara lainnya. Disamping, pada saat yang sama, kelompok ini tidak mendapat penghalang yang berarti dari negara-negara kafir atau thaghut di masing masing negeri.” [12]

Tanggapan

Celaan terhadap para ulama bukanlah suatu hal yang mengherankan bila keluar dari mulut penulis setelah membaca dalam penjelasan-penjelasan yang telah lalu. Namun yang kami tanggapi disini adalah penyebutan fatwa ulama sebagai “fatwa atau komentar tentang bom syahid ini dinisbahkan atau dilebeli dengan cap salafi (baca: salafi irja’i, murji’ah)” dan orang yang meyakini benarnya fatwa tersebut sebagai “salafy irja’i”.

Apakah celaan penulis terhadap murji`ah dibangun di atas dasar pengetahuan tentang jeleknya paham tersebut? Adakah penulis menjelaskan definisi paham irja`i atau kelompok murji`ah? Apa dasar-dasar kesesatan mereka? Pernahkan penulis menemukan para ulama itu berpendapat bahwa “Amalan tidak termasuk dalam rangkaian iman” atau mereka menyatakan bahwa “Dosa sama sekali tidak membahayakan keimanan”?

Tidak ada jawaban yang bisa kita dapatkan dari penulis, namun kami yakin bahwa akibat jelek dari “mempelajari serba sedikit” dan sekedar “berdiskusi di alam nyata maupun internet” akan mewarnai pemahamannya dan telah kami jelaskan bahwa penulis dan yang semisalnyalah yang lebih layak dikatakan menganut paham irja`i.

Kemudian nampak dari penulis bahwa cap ‘salafy irja’i’ ia arahkan kepada sesuatu khusus dibangun di atas paham Khawarij yang dia tekuni. Perhatikan ucapannya, “Disamping, pada saat yang sama, kelompok ini tidak mendapat penghalang yang berarti dari negara negara kafir atau thaghut di masing masing negeri.” Dan simak juga ucapannya yang lain, “Seorang yang berzina akan dianggap kafir oleh Khawarij. Sedangkan seorang yang menyembah batu, yang telah jelas kesyirikannya, atau seorang yang menggganti hukum Islam dengan hukum yang lainnya secara sengaja, dalam pandangan Murji’ah dianggap sebagai ‘tidak apa-apa’.” [13]

Nampak dengan sangat jelas bahwa penulis hanya melagukan irama klasik para Khawarij masa kini dan tokoh-tokohnya yang menuduh Ahlus Sunnah dengan tuduhan irja`i karena mereka tidak mengkafirkan orang-orang yang berhukum dengan selain hukum Allah secara mutlak, akan tetapi Ahlus Sunnah memberikan rincian yang sangat detail berdasarkan dalal-dalil Al-Qur’an dan As-Sunnah. Hal tersebut menunjukkan fiqih yang sangat ilmiyah dan mendalam yang sangat aneh bagi kalangan penulis dan yang semisalnya. Dan rincian tersebut telah berlalu kesimpulannya.

Maka tuduhan tersebut hanyalah tuduhan klasik yang merupakan kebiasaan pengekor bid’ah dan kesesatan semenjak dahulu hingga sekarang. Pada saat ciri khas Ahlus Sunnah berada di garis pertengahan sesuai dengan dalil-dalil Al-Qur’an dan As-Sunnah, antara kutub ekstrim dan kutub menyepelekan, maka Ahlus Sunnah pun menjadi sasaran tuduhan kelompok-kelompok menyimpang tersebut. Tatkala Ahlus Sunnah dalam hal pelaku dosa besar berada di pertengahan antara Khawarij dan Murji`ah, maka orang-orang Khawarij menyebut Ahlus Sunnah sebagai Murji`ah dan demikian pula sebaliknya. Begitu Ahlus Sunnah berada pertengahan dalam hal takdir antara Qadariyah dan Jabriyah, maka orang-orang Qadariyah menjuluki Ahlus Sunnah sebagai Jabriyah dan demikian pula sebaliknya. Dan dalam hal nama dan sifat Allah, Ahlus Sunnah pertengahan antara kelompok Mu’aththilah dan Musyabbihah, terdengar orang-orang Mu’aththilah menggelari Ahlus Sunnah Musyabbihah dan sebaliknya.

Kerancuan Kedua

Penulis berkata, “Pada abad 20-21 yang sekarang kita hidup di dalamnya, dunia Islam mengenal nama-nama ulama kaliber internasional yang berusaha menempuh manhaj Salafush-Shalih. Terlepas dari tuduhan Khawarij atau Murji’ah oleh pihak-pihak tertentu, mereka adalah…” kemudian ia menyebutkan sejumlah tokoh di antaranya Salman Al-Audah, Safar Al-Hawali, Aiman Azh-Zhawahiry, Sulaiman Abul Ghaits, Abdullah ‘Azzam. [14]

Tanggapan

Penyebutan nama-nama di atas dalam deretan “nama-nama ulama kaliber internasional yang berusaha menempuh manhaj Salafush-Shalih” dan “Terlepas dari tuduhan Khawarij atau Murji’ah” adalah menunjukkan kerancuannya dalam memahami manhaj Salaf. Dan sangat memperihatinkan sekali makar jahat penulis tatkala ia menderet nama-nama para tokohnya di samping nama Syaikh Ibnu Baz, Syaikh Muhammad bin Sholih Al-‘Utsaimin, Syaikh Al-Albany, Syaikh Muqbil Al-Wadi’i Al-Yamani dan Syaikh Rabi’ Al-Madkhaly, kemudian setelah itu ia menyebut sebagian dari mereka sebagai ulama “qa’idun (tidak berjihad)”, “Mereka tidak lagi peduli dengan penodaan, penistaan, dan penjajahan terhadap kiblat dan tanah suci mereka” dan “kurang mengerti trik-trik politik”. Dan ini adalah gaya sebagian orang pergerakan di masa ini, kalau nama-nama ulama itu dibutuhkan maka mereka akan dipuji dengan pujian yang harum, namun bila fatwa mereka menyelesihi hawa nafsunya, maka mereka pun menjadi bulan-bulanan cercaan kotor dan tidak berakhlak.

Kerancuan Ketiga

Dan makar penulis yang lebih jahat lagi, setelah mencampuradukkan nama-nama di atas, penulis berkata, “Dalam masalah akidah, aku tidak mendapati perbedaan pendapat di antara mereka.”[15]

Tanggapan

Dan ini adalah sebuah makar atau kedustaan. Telah berlalu beberapa kerancuan pemikiran sebagian tokoh-tokohnya dan banyak lagi kerancuan lainnya yang tidak memungkinkan untuk diuraikan dalam kesempatan ini.

Penulis sangatlah mengetahui bahwa para ulama Ahlus Sunnah di masa ini sangat menentang aksi-aksi terorisme, bom bunuh diri –yang mereka sebut bom syahid-, pembangkangan terhadap pengusa muslim dan sejumlah masalah yang sangat ditentang oleh penulis dan yang semisalnya serta tokoh-tokoh mereka.

Kerancuan Keempat

Penulis berkata, “Dalam masalah akidah, aku tidak mendapati perbedaan pendapat di antara mereka. Adapun soal furu’ hal itu biasa terjadi. Dan Islam tidak melarangnya, selagi berada dalam koridor syari’at….” kemudian ia memberi beberapa contoh masalah furu’, diantaranya ia berkata, “Dalam masalah jihad aku berpegang pada fatwa para ulama mujahid, yang mereka terjun langsung dan terlibat dalam jihad seperti….” [16]

Tanggapan

Ucapan di atas adalah salah satu bukti kuat akan kerancuan dan dangkalnya penulis dalam memahami manhaj dan aqidah Salaf. Andaikata penulis pernah mempelajari buku-buku aqidah Salaf –walaupun hanya satu buku-, niscaya ia akan menemukan tentang wajibnya Jihad dibelakang penguasa yang baik maupun fajir, jihad akan tetap berlangsung hingga hari kiamat, dan lain-lainnya dari masalah jihad yang termaktub dalam buku-buku aqidah Salaf. Maka menggolongkan masalah jihad dalam rangkaian furu’ yang biasa terjadi silang pendapat padanya adalah suatu hal yang sangat keliru. Dan ini juga termasuk hal yang menyebabkan penulis banyak terjatuh dalam kesalahan seputar masalah jihad. Iya, sebagian aplikasi lapangan dan hukum-hukum jihad memang bisa dikategorikan dalam masalah furu’, namun menyebut secara global bahwa jihad termasuk masalah furu’ sama sekali tidak benar dan menyelisihi manhaj Salaf.

Kemudian kembali penulis menimbang dengan dua timbangan yang berbeda. Kalau memang jihad terhitung dalam masalah furu’ sebagaimana yang dia sangka, lantas kenapa mencerca para ulama Ahlus Sunnah yang fatwa-fatwa mereka berseberangan dengan hawa nafsunya? Bukankah pada masalah furu’ boleh saja terjadi silang pendapat? Bukankah Islam tidak melarangnya?

Dan gaya yang tidak adil seperti ini termasuk kebiasaan para pengekor kesesatan dan bid’ah. Wallahu A’lam.

[1] Lawami’ Al-Anwar Al-Bahiyyah Wa Sawathi’ Al-Asrar Al-Atsariyah 1/20.

[2] Nazharat Wa Tu’uqqubat ‘Ala Ma Fi Kitab As-Salafiyah hal.21.

[3] Dikeluarkan oleh Al-Bukhary no. 6285-6286 dan Muslim no.2450 dari hadits ‘Âiysah radhiyallahu ‘anha.

[4] Majmu’ Fatawa jilid 4 hal 149.

[5] Majmu’ Fatawa 3/346.

[6] Minhajus Sunnah 3/345.

[7] Baca : Hukmul Intima` hal. 31-37 dan Mauqif Ahlus Sunnah wal Jama’ah 1/46-47.

[8] Telah berlalu takhrijnya.

[9] Hadits Shohîh, diriwayatkan dari Abu Hurairah, Abdullah bin ‘Amr, Mu’awiyah bin Abi Sufyan, ‘Auf bin Malik, Abu Umamah, Anas, ‘Abdullah bin Mas’ud, Jabir, Sa’ad bin Abi Waqqash, Watsilah bin Al-Asqa’, Abu Darda`, ‘Amr bin ‘Auf Al-Muzany, ‘Ali bin Abi Thôlib dan Abu Musa Al-Asy’ary radhiyallahu ‘anhum ajma’în. Baca Basho`ir Dzawi Asy-Syaraf bi Marwiyyat Manhaj As-Salaf hal. 91-93.

[10] Baca Dzammut Ta`wil hal. 28-36. Dan padanya juga ada pembahasan kewajiban mengikuti Salaf.

[11] Aku Melawan Teroris hal. 171.

[12] Aku Melawan Teroris hal. 171-172.

[13] Aku Melawan Teroris hal. 58.

[14] Aku Melawan Teroris hal. 64.

[15] Aku Melawan Teroris hal. 64.

[16] Aku Melawan Teroris hal. 64.

(http://jihadbukankenistaan.com/bantahan-buku-aku-melawan-teroris/akar-kesesatan-3.html)

Bagian Keempat

Akar Kesesatan Keempat : MEMBANGUN HUKUM DIATAS PERASAAN.

Termasuk akar dan dasar kesesatan penulis yang banyak mewarnai tulisannya dan aksi bom Bali yang dia lakukan adalah membangun hukum bukan semata berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah melainkan berdasarkan perasaan dan semangat belaka. Dan gaya seperti ini merupakan salah satu sumber kesesatan berbagai kelompok yang menyimpang sekaligus menujukkan lemahnya pemahaman dan aqidah pelakunya.

Perhatikan ucapan penulis, “Mercusuar itu padam apinya. Tumbang menaranya. Lautan menjadi gelap. Kapal-kapal pun bertabrakan. Ada tangis berkepanjangan. Badai tak kunjung reda. Umat ini ditimpa bala. Dalam bala ada petaka. Dari petaka terlahir luka. Duka menerpa. Ia tiada karena umat ini telah alpa. Tapi siapa berani menebus dosa? Menerpa nestapa mengentas derita. Ada? Tidak ada? Ada? Tidak ada? Dan luka, dan luka itu kini kian membesar, membesar dan membesar!

23 Mei 1924, mercusuar terakhir, benteng terakhir umat Islam, tumbang sudah. Pengkhianatnya yang bernama Mustafa Kamal At-Taturk, seorang pezina keturunan Yahudi Donama. Lewat tangan najislah Kekahlifahan Utsmaniyah (Turki Utsmani) runtuh. Dan mulai detik itu tak ada lagi Khilafah Islamiyah. Detik itu juga sorak kemenangan dan kegembiraan Yahudi bersama Salibis Internasional membahana, karena memang itulah yang mereka harapkan.

Jika kamu memperoleh kebaikan, maka mereka akan berduka cita, dan jika kamu ditimpa keburukan, maka mereka bergembira dengan hal itu…(Ali-Imran: 120).

Saat Khilafah Islamiyah musnah, dunia kembali ke zaman jahiliyah…” [1]

Tanggapan

Ucapan penulis di atas dan beberapa kalimat senada dengannya yang memuat kesan bahwa umat ini dapat dihancurkan oleh musuhnya hanyalah menunjukkan kejahilan dan kelemahan penulis dalam memahami Islam dan aqidah yang benar.

Tahukan penulis bahwa umat ini pasti dijayakan oleh Allah, dan tidak akan mungkin dibinasakan oleh musuh mereka?

Bukankah Allah Jalla Jalaluhu telah menegaskan,

“Mereka ingin hendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka, dan Allah tetap menyempurnakan cahaya-Nya meskipun orang-orang kafir benci. Dia-lah yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang benar agar Dia memenangkannya di atas segala agama-agama meskipun orang-orang musyrik benci.” (QS. Ash-Shof : 8-9)

“Dia-lah yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang hak agar dimenangkan-Nya terhadap semua agama. Dan cukuplah Allah sebagai saksi.” (QS. Al-Fath : 28)

Dan Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda,

لاَ تَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِيْ ظَاهِرِيْنَ عَلَى الْحَقِّ لاَ يَضُرُّهُمْ مَنْ خَذَلَهُمْ حَتَّى يَأْتِيَ أَمْرُ اللهِ وَهُمْ كَذَلِكَ

“Terus menerus ada sekelompok dari umatku yang mereka tetap nampak diatas kebenaran, tidak membahayakan mereka orang mencerca mereka hingga datang ketentuan Allah (hari kiamat) dan mereka dalam keadaan seperti itu.” [2]

يَحْمِلُ هَذَا الْعِلْمَ مِنْ كُلِّ خَلَفٍ عُدُوْلُهُ يَنْفُوْنَ عَنْهُ تَحْرِيْفَ الْغَالِيْنَ وَانْتِحَالَ الْمُبْطِلِيْنَ وَتَأْوِيْلَ الْجَاهِلِيْنَ

“Ilmu (agama) ini akan disandang -pada setiap generasi- oleh orang-orang adilnya. Mereka menepis darinya tahrif (perubahan, pembelokan) orang-orang yang melampaui batas, jalan para pengekor kebatilan dan takwil orang-orang jahil.” [3]

Maka derita dan petaka yang menimpa umat adalah ujian dan cobaan serta peringatan kepada mereka untuk membenahi diri dan kembali kepada Allah ‘Azza wa Jalla, dengan mempelajari dan menjalankan tuntunan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Itulah jalan kebahagian dan kejayaan umat, dan kekuatan mereka akan kembali bila mereka bertakwa kepada Allah dan menjalankan seluruh syari’atnya. Bukan justru melakukan aksi-aksi yang hanya menambah derita dan kepedihan umat, dan hanya menambah luka di atas luka seperti yang dilakukan oleh penulis dan orang-orang semisalnya yang meraung-raung di tengah gema tangis dan kesedihan tanpa ada langkah penyelesaian yang dibenarkan oleh syari’at.

Dan boleh kami tegaskan disini bahwa penulis melakukan aksi terornya (bom Bali) hanya dibangun di atas semangat belaka. Perhatikan ucapannya di sampul belakang bukunya, “Tangismu wahai bayi-bayi tanpa kepala…dibentur di tembok-tembok Palestina…jeritmu wahai bayi-bayi Afghanistan…yang memanggil-manggilku tanpa lengan…dieksekusi bom-bom jahannam…milik setan Amerika dan Sekutu…saat ayah bundamu menjalani Ramadhan! Ini aku, saudaramu…ini aku, datang dengan secuil bombing…kan kubalas sakit hatimu…kan kubalaskan darah-darahmu…darah dengan darah…nyawa dengan nyawa!…qishash!!”

Dan perhatikan ucapannya, “Melihat kondisi semacam ini, di mana jutaan darah kaum muslimin tumpah-ruah, kehormatan mereka dicabik-cabik oleh senjata Amerika dan sekutunya, pantaskah kaum muslimin lainnya berpangku tangan?” [4]

Dan penulis berkata, “Di sana aku hanyalah seorang pemuda tua yang tengah belajar arti sebuah derita dan kesakitan, makna sebuah luka dan perlawanan, maksud sebuah keteguhan dan kesabaran, tafsir dari sebuah jihad dan kesyahidan. Aku belajar dari anak-anak kecil itu, yang kini di musim dingin tak lagi berjaket atau berkaos tebal karena telah musnah dibakar api biadab, api dendam neraka kekejaman Israel. Musnah dalam dera buldoser dan gelegar mortar. Aku kuliah dari remaja-remaja itu, yang tumbuh dalam kampus bernama ‘Universitas Darah’ Palestina. ‘Laboratorium Tarbiah’ tempat mereka bereksperimen dalam kesamaptaan iman, berhasil mengubah lumpur menjadi mitralliur, mengubah batu menjadi peluru…” [5]

Dan ucapan-ucapan cengeng seperti di atas sangatlah banyak, dan tidaklah pantas saya menyibukkan para pembaca dengannya.

Tanggapan

Perlu diketahui bahwa pada masa Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam dan para shahabatnya berada di Makkah kaum muslimin penuh dengan penderitaan, penindasan, penghinaan dan sejumlah derita yang mereka hadapi yang tercatat dalam sejarah generasi terbaik umat ini guna menjadi pelajaran bagi kita. Adakah para shahabat yang melakukan aksi-aksi bunuh diri, pengrusakan dan sebagainya? Bahkan apakah mereka diberi izin untuk melawan dengan tangan dalam kondisi lemah dan bila mereka mengadakan perlawanan mungkin akan terjadi petaka yang lebih besar terhadap mereka? Bahkan mereka komitmen dengan perintah Allah dan Rasul-Nya dan tidak memperturutkan perasaan belaka.

Dari Khabbab bin Al-Arat radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata,

شَكَوْنَا إِلَى رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ مُتَوَسِّدٌ بُرْدَةً لَهُ فِيْ ظِلِّ الْكَعْبَةِ فَقُلْنَا أَلَا تَسْتَنْصِرُ لَنَا أَلَا تَدْعُوْ لَنَا فَقَالَ قََدْ كَانَ مَنْ قَبْلَكُمْ يُؤْخَذُ الرَّجُلُ فَيُحْفَرُ لَهُ فِي الْأَرْضِ فَيُجْعَلُ فِيْهَا فَيُجَاءُ بِالْمِنْشَارِ فَيُوْضَعُ عَلَى رَأْسِهِ فَيُجْعَلُ نَصْفَيْنِ وَيُمْشَطُ بَأَمْشَاطِ الْحَدِيْدِ مَا دُوْنَ لَحْمِهِ وَعَظَمِهِ فَمَا يَصُدُّهُ ذِلِكَ عَنْ دِيْنِهِ وَاللهِ لَيُتِمَّنَ هَذَا الْأَمْرَ حَتَّى يَسِيْرَ الرَّاكِبُ مِنْ صَنْعَاءَ إِلَى حَضْرَمَوْتَ لَا يَخَافُ إِلَّا اللهَ وَالذِّئْبَ عَلَى غَنَمِهِ وَلَكِنَّكُمْ تَسْتَعْجِلُوْنَ

“Kami mengadu kepada Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam dan beliau sedang berbantal dengan burdahnya di bawah teduhan Ka’bah. Kami berkata, “Tidakkah engkau mendoakan pertolongan untuk kami? Tidakkah engkau mendoakan kebaikan untuk kami?” Maka beliau bersabda, “Sungguh telah terdahulu orang-orang sebelum kalian, seorang dari mereka diambil lalu digalikan lubang untuknya di bumi, kemudian ia diletakkan padanya, lalu didatangkanlah gergaji kemudian diletakkan di atas kepadanya sehingga ia terbelah dua, dan ada yang disisir dengan sisir-sisir besi sehingga menembus daging dan tulangnya, namun hal tersebut tidaklah menghalangi mereka dari agamanya. Demi Allah, sungguh (Allah) akan menyempurnakan perkara ini (Islam), sampai-sampai seorang berkendaraan akan berjalan dari Son’a` ke Hadramaut tidak ada yang ia takuti selain Allah dan serigala yang mengintai kambing-kambingnya. Akan tetapi kalian terlalu tergesa-gesa.” [6]

Perhatikan, adakah para shahabat karena penderitaan yang mereka derita melakukan tindakan di luar perintah Rasul Allah yang membawa ketentuan dan tuntunan dari-Nya? Dan adakah Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam mendidik mereka untuk hanya memperturutkan perasaan belaka sehingga terjadi tindakan-tindakan konyol yang membawa kejelekan yang besar terhadap mereka dan semakin menambah derita mereka? Bahkan mereka dilarang untuk berperang dengan tangan tatkala keadaan tidak memungkinkan di Makkah waktu itu.

“Tidakkah kamu perhatikan orang-orang yang dikatakan kepada mereka, “Tahanlah tangan kalian (dari berperang), dirikanlah sembahyang dan tunaikanlah zakat!”.” (QS. An-Nisa` : 77)

Dan tidakkah seharusnya penulis mengambil pelajaran dari kisah perjanjian Hudaibiyah, di mana kaum muslimin –yang jumlah mereka waktu 1400 personil- melakukan perjanjian damai dengan kaum kafir Quraisy untuk tidak saling berperang dan kalau ada dari penduduk Mekkah datang kepada Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam dalam keadaan telah masuk Islam, maka ia hendaknya dikembalikan ke Mekkah…., dalam keadaan seperti itu datanglah Abu Jandal radhiyallahu ‘anhu dalam kondisi terbelenggu rantai. Dan beliau berkata, “Wahai sekalian kaum muslimin, apakah saya dikembalikan kepada kaum musyrikin sedang saya telah datang sebagai seorang muslim, tidakkah kalian melihat apa yang saya alami? –dan beliau telah disiksa di (jalan) Allah dengan siksa yang dahsyat-” Dan akhirnya berdasarkan perjanjian beliau harus dipulangkan ke Mekkah. Dan Allah membukakan jalan keluar baginya setelah itu. [7]

Perhatikan bagaimana Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam menahan diri agar dapat mencapai mashlahat yang lebih besar bagi kaum muslimin. Padahal mereka memiliki jumlah dan kekuatan. Tapi tatkala jumlah dan kekuatan itu jauh dibawah kekuatan kaum musyrikin, maka ada syari’at untuk melakukan perdamaian sementara. Dan ini adalah suatu hikmah syari’at yang tidak bisa dicerna dengan sekedar mengikuti perasaan.

Dan yang lebih lucu lagi, gaya penulis berkisah tentang ‘Pengalaman Rohani’nya di akhir bukunya hal. 267-279. Ketika membaca kisah-kisah tersebut; “Siapa lelaki berjenggot itu?”, “Remote”, “Dari mana datangnya air?” dan kisah “Roti dan Mentega”, terus terang saya banyak tertawa bercampur heran menyaksikan ulah syaithan yang asyik menyeret penulis dalam kesesatannya. Sehingga dengan bangganya penulis dan kawan-kawannya menganggap bahwa sebagian yang mereka alami adalah ‘karamah’ sambil meneriakkan “Allahu Akbar!”. Ini kebenaran mujahidin. Allahu Akbar! Allahu Akbar!!!” [8]

Suatu hal yang telah dimaklumi dalam syari’at bahwa yang menjadi ukuran suatu kebenaran adalah bila mencocoki Al-Qur’an dan As-Sunnah. Karena Al-Qur’an dan As-Sunnah adalah suatu hal yang meyakinkan tidak memuat keraguan apapun, sedang peristiwa-peristiwa yang terjadi adalah suatu zhon (sangkaan) yang mengandung kemungkinan benar atau salah. Maka tidaklah boleh seseorang membenarkan perbuatan yang ia lakukan hanya sekedar berdasarkan pada kejadian-kejadian yang dialaminya walaupun terkesan merupakan dampak baik dari perbuatannya, sebagaimana yang terjadi pada penulis yang menganggap ‘karamah-karamah’ itu sebagai bukti kebenaran aksi terorismenya.

Dan ini adalah salah satu kerancuan dalam memahami agama dan kejahilan tentang kaidah-kaidah syari’at.

Bukankah penulis bercerita tentang Dajjal dengan kemampuannya menghidupkan dan mematikan, punya sorga dan neraka…?[9] Apakah seluruh itu menunjukkan bahwa Dajjal berada di atas kebenaran?

Saya yakin tidak seorang pun yang mengetahui hadits-hadits mutawatir tentang fitnah Dajjal yang kafir akan membenarkan Dajjal karena hal tersebut.

Dan tatkala ‘Ali bin Abi Tholib radhiyallahu ‘anhu terbunuh, maka si pembunuh yaitu Abdurrahman bin Muljim dikeluarkan pula untuk dibunuh. Maka Abdullah bin Ja’far radhiyallahu ‘anhuma memotong kedua tangan dan kakinya. Ibnu Muljim tidak merintih dan tidak pula berbicara. Kemudian kedua matanya dicelak dengan paku panas, ia tetap tidak merintih bahkan ia membaca (surah) “Bacalah dengan (menyebut) nama Rabb-mu Yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah…-hingga akhir surah Al-Alaq.-” sedang kedua matanya meleleh. Tatkala lisannya akan dipotong, Ibnu Muljim merintih. Ditanyakan kepadanya, “Kenapa engkau merintih?” Dia menjawab, “Saya tidak senang menghadapi kematian di dunia sedang saya tidak berdzikir mengingat Allah.” Dan Ibnu Muljim orang yang agak hitam, pada dahinya ada bekas sujud. [10]

Saya yakin tidak seorang muslim pun yang akan membenarkan tindakan Ibnu Muljim sang pengekor Khawarij yang telah membunuh salah seorang manusia terbaik dari umat ini yang penuh dengan keutamaan dan dijamin masuk sorga oleh Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam. Saya kira akal yang masih sehat tetap tidak akan membenarkan kebejatan Ibnu Muljim yang nampak tegar menghadapi resiko perbuatannya, apalagi meneriakkan “Allahu Akbar!”. Ini kebenaran mujahidin. Allahu Akbar! Allahu Akbar!!!”.

Yang jelas, kisah-kisah yang seperti di atas sangat banyak sekali, menunjukkan bahwa yang benar adalah apa yang mencocoki Al-Qur’an dan As-Sunnah. Adapun kebatilan dan kesesatan tidak akan menjadi benar, walaupun di dukung oleh berbagai keanehan yang di anggap ‘karamah’ oleh pelakunya.

Maka kami tegaskan disini bahwa aksi-aksi terorisme yang dilakukan oleh penulis dan teman-temannya adalah suatu kesesatan yang menyelisihi Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagaimana yang telah diterangkan. Sehingga ‘karamah’ apa saja yang mereka sebutkan, itu hanyalah permainan syaithan atau istidraj (berangsur-angsur ke arah kebinasaan) yang ditimpakan oleh Allah sehingga mereka semakin larut dalam kesesatannya. [11] Na’udzu billahi min dzalik.

Allah Jalla Sya’nuhu berfirman,

“Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kamipun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka; sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, maka ketika itu mereka terdiam berputus asa.” (QS. Al-An’am : 44)

“Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin (para shahabat), Kami biarkan ia larut dalam kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (QS. An-Nisa` : 115).

“Dan (begitu pula) Kami memalingkan hati dan penglihatan mereka seperti mereka belum pernah beriman kepadanya pada permulaannya, dan Kami biarkan mereka bergelimang dalam kesesatannya yang sangat.” (QS. Al-An’am : 110)

“Katakanlah, Barangsiapa yang berada di dalam kesesatan, maka (Allah) Yang Maha Pemurah melapangkannya.” (QS. Maryam : 75)

[1] Aku Melawan Teroris hal. 89-90.

[2] Telah berlalu takhrijnya.

[3] Telah berlalu takhrijnya.

[4] Aku Melawan Teroris hal. 98.

[5] Aku Melawan Teroris hal. 244.

[6] Hadits riwayat Al-Bukhary no. 3612, 3852, 6943.

[7] Kisahnya secara lengkap dalam Shohih Al-Bukhary no. 2731-2732 dan Abu Daud no.2765 dari hadits Miswar bin Makhramah radhiyallahu ‘anhuma.

[8] Aku Melawan Teroris hal. 276.

[9] Aku Melawan Teroris hal. 83-86.

[10] Talbis Iblis karya Ibnul Jauziy hal. 272.

[11] Pada footnote 1 hal. 267, tertulis “Imam Samudra menuliskan mimpi-mimpinya yang benar (ru`yah shadiqah) dalam catatan khusus setebal ± 80 hal. Secara umum berisi mimpi yang kemudian terbukti terjadi. Karena alasan tertentu, tulisan tersebut tidak bisa dimuat.-editor.” Saya berkata, ini termasuk indikasi kuat bahwa syaithon atau bisikan diri sendiri telah mempermainkan penulis. Mungkin saja penulis ingin mengikuti jalan ‘Amr bin Luhayy yang membenarkan mimpinya, dan memang terbukti ia menemukan berhala-berhala sebagaimana dalam mimpinya tersebut, lalu ‘Amr membagi-bagi berhala-berhala itu kepada kabilah-kabilah Arab dan tersebarlah kesyirikan hingga Nabi Muhammad shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam di utus.

Tidak ada komentar: